CERPEN BAHASA INDONESIA (GENRE: SLICE OF LIFE)


Rumah Yang Sempat Terlupakan

Oleh: Jauza' Delinda Putri

 

Kasus covid-19 terus meningkat di Indonesia, saat ini sudah mencapai 34.000 kasus….

Wanita bersurai hitam itu menghela nafas pelan saat mendengarkan berita dari salah satu stasiun televisi lokal. Pandemi covid-19 yang melanda saat ini ternyata bukan hal yang main-main. Hal ini lebih mengerikan dari yang ia bayangkan. Semakin banyak yang ter infeksi, banyak pula yang sudah sembuh, tetapi tak sedikit juga yang sudah berpulang ke rumah Tuhan. Ia bertanya-tanya, kapan hal ini akan selesai?

Saat sedang melamun, wanita itu dikejutkan dengan dering telepon genggam nya.

“Hallo Lunn!! Lagi dimana lo?” sapa orang itu riang dari seberang sana.

“Di apartemen aja, ada apaan Rin?”

“Lo mau WFH dimana? Tetep di apartemen apa pulang ke rumah bunda?”

“Hah? WFH apaan dah?”

“Lo nggak baca pengumuman kantor Lun?!” tanya orang di sebrang sana sekali lagi.

“Bentar-bentar gue matiin dulu, mau cek Email.”

Panggilan terputus sepihak. Wanita bersurai hitam itu langsung melangkahkan kaki ke ruang kerja miliknya.

Sebentar, sekarang mari berkenalan lebih dahulu dengan wanita tersebut. Wanita yang baru saja menginjak umur 25 tahun di bulan Januari kemarin. Namanya Diandra Luna. Memiliki hobi menyanyi dan membaca novel Tere Liye. Luna bekerja di salah satu perusahaan besar Kawasan Ibu Kota. Ia bekerja di bidang administrasi, yang pasti kalian tahu repotnya seperti apa. Luna sudah meniti karier nya sejak usia 23 tahun hingga saat ini. Memiliki banyak prestasi membuat ia memiliki posisi penting dalam perusahaan nya.

Cukup dengan perkenalan nya, sekarang mari kembali ke persoalan hari ini. Ia membuka e-mail teratas dari kantornya, dan ternyata benar. Semua karyawan kantor di minta untuk melakukan  WFH (Work From Home). WFH bisa disebut dengan melakukan kerja jarak jauh atau kerja dari rumah. Ia tahu kantornya melakukan hal ini demi kebaikan semua pihak, mulai dari karywan, para jajaran petinggi kantor, hingga demi kantor itu sendiri. Luna tidak masalah dengan keputusan itu. Menurut Luna, kantornya sudah mengambil keputusan yang tepat.

Nada dering telepon genggam miliknya kembali terdengar. Panggilan dari orang yang menelpon nya beberapa menit lalu, Rina. Rina adalah teman kantor sekaligus sahabatnya sejak duduk di bangku kuliah. Bisa dihitung mungkin sudah 5 hingga 6 tahun mereka berteman.

“Jadi gimana? Udah baca?” tanya Rina.

“Udah, dan menurut gue ini keputusan yang tepat sih Rin. Mereka pasti nggak mau kena resikonya, lo tau lah mereka gimana,” jawab Luna.

“Lo kemarin nggak di ajak rapat pas bikin keputusan ini?”

“Nggak, kata Mbak Shinta rapatnya cuma buat para direktur doang sih,”

“Sumpah? Gue kira lo tau karena ikut rapatnya. Oke lupain. Jadi sekarang jawab pertanyaan gue yang tadi, lo mau WFH dimana? Tetep di apartemen apa pulang kerumah bunda? Lumayan tuh sebulan WFH, jadi bisa sekalian liburan kesana. Lo juga lama nggak pulang ke rumah bunda kan?” tanya Rina untuk kedua kalinya.

Bunda adalah sebutan untuk Amelia, ibunya Luna. Karena mereka sudah dekat dan cukup lama saling mengenal, otomatis Rina pun juga memanggilnya dengan sebutan bunda.

“Gue masih belum mikir sih, liat nanti dulu aja. Tapi kayaknya gue tetep di apartemen aja deh,”

“Lo yakin? Gue ngebayangin sebulan di apartemen full aja udah merinding karena bosen. Gimana lo yang gampang bosen? Ini kesempatan emas Lun buat liburan kapan lagi coba? Jangan lo sia-sia in,”

“Duh.. Pikirin nanti ajalah Rin.. Gue jadi bingung,”

Di seberang sana, Rina menyrengit, “Bentar deh, gue tebak... Lo berantem lagi sama bunda?” tanya rina menyelidik.

“Iya.. Tebakan lo bener..” jawab Luna sambil menggaruk alisnya.

“Astaga lun, apa lagi kali ini? Lo tuh apa nggak capek? Orang tua tinggal satu, jauh lagi dari jangkauan, sering berantem lagi,” oceh rina bertubi-tubi.

“Lo tuh nggak ngerti Rin. Lo tau kan gue paling nggak suka kalau di tanya kapan nikah. Dan bunda kemarin nanya lagi. Ditambah lagi gue dibandingin sama sepupu. Berulang kali gue bilang ke bunda, kalo gue mau ngejar karier gue. Nanti pasti gue bakalan nikah kok, tenang aja,” jawab luna Panjang.

“Come on Lun.. Lo bukan lagi anak kecil yang kalo ditanyain macem macem dan nggak sesuai sama hati, ngebalesnya dengan marah, ngambek dan lain nya. Cukup lo kasih pengertian aja ke bunda, kalo semua tuh butuh proses. Lo udah 25 tahun, jangan childish,” omel Rina panjang lebar.

“Udahlah, gue capek Rin, gue nggak mau juga berantem sama lo, gue tutup-“

“Bentar!!! Iya iya maaf gue ngomel. Bentar jangan di matiin. Tapi izinin gue bilang ini ke lo. Gue tau lo pasti ngerasa kalo pertengkaran terakhir kemarin adalah hal yang berlebihan, gausah denial Lun, lo pasti  tahu mana yang salah dan mana yang bener,”

Luna mendongak, menatap langit-langit apartemen nya. Benar kata rina ia sebenarnya merasa bersalah kepada bundanya. Tapi entah mengapa egonya tetap saja tinggi.

“Gue tau ego lo segede apa buat minta maaf, jadi menurut gue, momen ini tuh pas banget tahu Lun! Kasih bunda kejutan dengan lo pulang. Gue yakin manjur banget buat memperbaikin hubungan lo sama bunda,” saran Rina seolah tahu isi hati Luna.

“Lo bener Rin, harusnya gue jangan kabur. Makasih sarannya. Tapi kira-kira ada nggak ya tiket kereta buat besok?” tanya Luna kepada Rina.

“Nahh.. Gitu dong.. Buat tiket coba gue cariin ya, hadiah dari gue dalam rangka lo sama bunda otw baikan,” balas Rina sambil terkekeh kecil. Rina tidak bohong, ia juga merasa senang mendengarkan nya.

“Aaa.. thank you Rina.. gue packing dulu ya. Good bye,”

Panggilan terputus, setelahnya senyum kecil terbit di bibir cantik milik Luna. Ia merasa beban di pundak nya sedikit terangkat. Jika kalian bertanya apakah pertengkaran terakhir dengan bunda nya berpengaruh terhadap Luna, jawabannya iya. Tiga hari ini ia tidak pernah fokus dalam melakukan sesuatu. Semuanya terasa berantakan. Belum lagi tuntutan pekerjaan yang membuatnya semakin pusing.

Setelah packing untuk keperluannya selama pulang ke rumah, kegiatan selanjutnya membersihkan beberapa hal yang kurang pas di dalam apartemen nya. 2 jam berlalu, setelahnya Luna memutuskan untuk merebahkan diri di kasur. Sekarang pukul Sembilan malam, ada pesan dari Rina. Sahabatnya mengatakan bahwa tiket kereta api sudah di pesan secara online, jadi tidak ada lagi hal yang perlu di khawatirkan.

Paginya ia pergi ke stasiun di dekat alun-alun kota. Beruntung, letak stasiun cukup dekat dengan apartemen nya, mungkin hanya membutuhkan waktu perjalanan sekitar 5 menit.

Setengah jam sebelum keberangkatan, Luna sudah sampai di stasiun. Mengurus berbagai macam hal mulai dari regristasi, dan lain-lain. Sayangnya, Rina tidak bisa mengantar ke stasiun karena ada acara di rumah neneknya. Maka, pagi buta sekali Rina hanya mengirim pesan singkat, yang berisi ucapan selamat pagi dan meminta Luna untuk selalu memberi kabar jika ada kendala dan sebagainya.

Ah.. Luna sangat beruntung memiliki sahabat seperti Rina. Luna dan Rina sudah seperti saudara kandung. Saling menegur jika salah satu membuat kesalahan, saling memberi saran, bertukar pikiran, dan masih banyak lagi. Mereka juga memiliki hobi yang sama, yaitu mengoleksi dan membaca novel. Ia sampai sekarang bingung, bagaimana bisa ia mempunyai sahabat seperti Rina?

Pengumuman keberangkatan kereta sudah terdengar. Luna segera memasuki gerbong kereta miliknya. Perjalanan ke kota kelahirannya membutuhkan waktu sekitar 4 sampai 5 jam. Selama perjalanan, Luna melakukan beberapa hal untuk mengurangi rasa bosan nya, mulai dari mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda, membaca novel, hingga mendengarkan lagu-lagu di playlist yang memang sengaja ia buat untuk menemani selama perjalanan.

Tak terasa ia sudah sampai di stasiun kota kelahirannya. Jarak stasiun kota dengan rumahnya menempuh waktu sekitar 10 menit perjalanan. Taksi online adalah kendaraan yang tepat untuk saat ini.

Di dalam taksi banyak sekali percakapan dari Luna dan supir taksi. Mulai dari pekerjaan, kesibukan mereka saat ini, hingga ada satu topik yang membuat Luna sedikit tertarik.

“Mbak kesini pulang ke rumah orang tua ya?” tanya supir taksi basa-basi.

Luna tersenyum kecil, “iya pak, mumpung lagi WFH, saya sudah kengen rumah nih,”

“Betul mbak, mumpung lagi WFH bisa sekalian juga nemenin orang tua di rumah. Kan mbak merantau jauh, puas-puasin mbak ketemu sama orang tua. Jangan sampai nyesel merantau seperti saya. Dulu saya tipikal orang yang semangat banget merantau cari uang, sampai saya lupa orang tua di rumah juga butuh saya, butuh ketemu saya. Sangking saya kurang peka sama orang tua, di hari terakhirnya saya bahkan nggak bisa temenin beliau. Wah.. rasanya mbak.. seperti gagal menjadi seorang anak. Mungkin kalo saya bisa memutar waktu, saya pengen habisin banyak waktu sama beliau,” ucap panjang lebar sang supir taksi sambil tersenyum kecil.

“Ya ampun maaf mbak, saya jadi curhat gini,” lanjutnya tak enak hati.

Ucapan supir taksi tadi sedikit menohok Luna.

“Tidak apa-apa pak, sebelumnya saya turut berduka cita atas apa yang terjadi pada orang tua bapak. Terima kasih sudah mau membagi kisah yang mungkin menyakitkan bagi bapak. Cerita bapak seperti pengingat bagi saya untuk selalu bersyukur kepada Tuhan bahwa saya masih di beri kesempatan untuk bertemu orang tua saya. Terima kasih ya pak.”

Semua hal itu hampir terjadi padanya. Netra luna memanas. Ia menahan tangis sambil mengalihkan pandangannya keluar jendela, mengatur sedikit emosinya. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang timbul di benaknya. Bagaimana jika hal itu juga terjadi padanya? Bagaimana jika bunda juga menginggalkannya tanpa aba-aba seperti apa yang di ceritakan supir taksi tersebut?

“Syukurlah, sama-sama mbak,” balas supir taksi tersenyum lega.

Setelahnya tidak ada percakapan hingga mereka sampai pada tujuan. Hal itu terjadi karena sang supir fokus dengan jalanan dan Luna yang diam melamun memandang jalanan sambil memikirkan tentang seberapa egoisnya Luna terhadap sang bunda. Jarang bertemu, jarang berkomunikasi, jarang mengabari, dan masih banyak lagi. Ada yang menggerogoti dadanya, sesak.

Sampai di depan rumah, ia mengucapkan terima kasih pada sang supir taksi. Tak lupa memberikan beberapa lembar uang.

Menghela napas pelan adalah hal yang ia lakukan saat melihat rumahnya. Dua menit Luna hanya berdiam diri, bingung apakah ia harus masuk ke rumahnya atau tidak. Rasanya sangat malu bertemu sang bunda saat ini.

Tapi persetan dengan rasa malunya, Luna segera masuk ke dalam rumahnya. Wangi lavender adalah hal pertama yang mendominasi rumah tersebut. Lavender adalah bunga kesukaan bundanya, dari dulu hingga sekarang. Luna ingat bundanya bercerita alasannya, katanya waktu bunda bertemu dengan almarhum ayah, bunga yang di berikan ayah pertama kali adalah bunga lavender. Hal itu yang membuat bunda sangat menyukai bunga lavender.

Luna mengecek berbagai rungan sambil mencari bundanya.

“Bunda.. bunda ada dimana?” panggil Luna.

Ia berhenti di ruangan terakhir yaitu kamarnya, di dalam sana terdengar isak tangis seorang wanita yang ia yakin, itu adalah bundanya. Kamar itu tidak ditutup penuh, sehingga suara apapun akan terdengar sampai luar. Luna mencekal daun pintu kamarnya, mendengarkan bundanya berbicara seorang diri sambil membelakanginya.

“Mas Rama.. kamu apa kabar mas?” tanya bundanya sambil memandang dan mengusap pigura ditangan nya.

“Aku kangen kamu mas. Aku butuh kamu disini. Kamu kenapa ninggalin aku sama Luna secepet ini sih mas? Kamu kan udah janji sama aku bakal bareng bareng lihat Luna Bahagia sama suaminya nanti. Kamu bilang nanti kalo kita punya cucu, kita bakal ngurus mereka bareng bareng. Kata kamu..” Amelia tak sanggup lagi melanjutkan kalimatnya. Ia tertunduk menangis.

“Maaf, maaf karena aku masih belum berhasil nge wujudin hal yang kamu inginkan buat saat ini. Maaf Luna masih belum mau menikah mas. Dia mau fokus karier dulu katanya. Aku nggak bakal maksa dia lagi buat nikah mas, dia udah tau mana yang baik buat dia,” ucap nya tersenyum dengan netra yang tak hentinya mengeluarkan bulir bening.

“Dia sekarang udah sukses. Anak kita keren banget, kayak kamu dulu. Optimis, gak gampang nyerah sebelum dapetin apa yang dia inginkan. Kamu liat dia di atas sana pasti seneng banget,” lanjut wanita berumur 50 tahun itu sambil terkekeh.

Jika kalian tanya bagaimana Luna sekarang, ia sudah tidak bisa menahan air matanya lagi. Sebisa mungkin Luna menahan isakan agar sang bunda tidak mendengarnya. Bahunya bergetar kencang. Di dalam hati, bebrapa kali mengumpat untuk dirinya sendiri. Mengumpat karena egonya. Mengumpat atas segalanya.

“Tapi mas.. aku takut.. aku takut sendiri disini. Aku seneng anak kita sukses dengan semua hal yang dia capai, tapi aku takut. Aku takut terlupakan. Aku takut di tinggalkan untuk kesekian kalinya mas. Di tinggal kamu sakitnya masih kerasa, gimana kalau Luna juga ninggalin aku karena lupa. Lupa sama ibunya disini. Lupa sama ibunya yang juga butuh teman buat sekedar diajak bicara. Lupa sama ibunya yang kesepian di rumah sendiri. Aku sayang Luna, tapi aku takut mas,” ucap Amelia sambil menangis sesak. Sungguh siapapun yang mendengarkannya saat ini pasti akan ikut merasa sesak.

Luna semakin menangis merutuki semua hal yang ia lakukan. Ia terlalu tidak peka dengan keadaan ibunya. Terlalu senang mencari bahagianya sendiri. Ia pikir jika sang bunda tidak pernah mengeluh dan sebagainya maka sang bunda bahagia. Ternyata semuanya salah. Bundanya sendiri disini, menahan semuanya sendiri. Menahan rasa sepi dan sedih seorang diri.

“Andai kamu disini mas.. mungkin aku-“

“Bunda...” ucap Luna sambil terisak pelan.

Panggilan itu membuat Amelia tersentak. Apakah dia mimpi? Tidak mungkin kan anaknya berada disini? Apakah karena rasa rindunya, ia sampai berhalusinasi?

Luna melangkahan kakinya pelan, mendekat kepada sang bunda. Mesejajarkan badannya dengan sang bunda yang sedang duduk di samping ranjang. Netranya menatap pigura di tangan amelia. Luna tersenyum kecil di sela-sela tangisnya.

“Luna juga kangen sama ayah deh.. Luna pengen ketemu ayah buat minta maaf. Minta maaf karena udah nyakitin bunda, cintanya ayah dan cintanya Luna,” ucapnya sambil memegang tangan bundanya yang tak lagi muda. Ternyata sudah banyak kerutan disana.

Amelia menangis sambal menatap anak semata wayangnya. Luna mengusap bulir air mata di pipi bundanya.

“Bunda, maaf ya. Maaf Luna terlalu egois dengan semua hal. Maaf karena Luna terlalu pentingin karier Luna yang bikin Luna sempat lupa kalo ada bunda tempat satu-satunya Luna buat berteduh setelah ayah pergi.. Maaf Luna jarang pulang dan ngabarin bunda. Maaf karena Luna kurang peka dengan keadaan bunda. Pasti sesak banget di rumah ini sendiri tanpa Luna dan ayah di sisi bunda. Luna minta maaf buat segala hal yang Luna lakukan bun..” permintaan maaf Luna panjang lebar kepada bundanya.

“Maaf Luna nggak tahu kalau ternyata menikah adalah keinginan ayah yang ingin bunda wujudkan. Luna nggak menikah sampai sekarang karena Luna takut bund.. Luna takut di tinggalkan sama lelaki yang Luna cintai untuk kedua kalinya. Kehilangan ayah bikin trauma sendiri buat hati Luna,” jelas Luna mengaku sambil menunduk. Bahunya bergetar kencang karena ia menangis kejar.

Kepergian ayahnya memang berdampak sebesar itu untuk Luna. Takut ditinggalkan adalah alasan paling utama. Jika ia di tanya apakah ia ingin menikah? Jawabannya pasti ingin. Luna adalah wanita muda pada umumnya, sangat mendambakan keluarga kecil yang harmonis bersama suaminya kelak.

Pengakuan Luna membuat Amelia merengkuh putrinya dalam pelukan.

“Maaf, maaf, maafin kita. Maafin ayah yang udah tinggalin trauma sebesar itu buat Luna. Maafin bunda karena hal sebesar itu bunda aja nggak tau dan malah selalu memaksa Luna untuk menikah,” ucap Amelia sambil mencium pucuk kepala sang putri.

“Bunda.. Luna kangen sama bunda.. maaf bunda..” ucap luna sambil menangis kejar.

Amelia semakin mengeratkan pelukannya terhadap sang putri. Mengusap punggung luna, untuk memberinya kenyamanan.

“Iya sayang, bunda juga kangen sama Luna. Cup cup.. anaknya bunda matanya udah sembab banget gini.. tadi Luna kesininya naik apa nak?” tanya Amelia berusaha meredakan tangisan putrinya. Luna terdiam beberapa menit, berusaha mengatur nafasnya.

“Tadi Luna naik kereta terus kesini dari stasiun naik taksi,” jawab Luna terbata-bata karena tangisnya belum sepenuhnya reda.

“Ceritanya mau bikin kejutan buat bunda nih?” tanya Amelia menggoda Luna.

Luna menyembunyikan mukanya di celuruk leher sang bunda. Ia tersenyum kecil, lalu mengangguk. Amelia terkekeh melihat anaknya. Luna memang seperti ini aslinya, keras di hadapan orang-orang tapi akan menjadi manja jika sudah bersama bundanya. Ia menghela nafas pelan, memikirkan hal apa yang bisa mereka lakukan setelah ini, hingga ia teringat sesuatu.

“Kamu mau bikin kue bareng bunda nggak? Hari ini bunda pengen banget bikin cinnamon rolls. Tadi udah beli bahan-bahannya, malah keburu mager. Tapi sekarang bunda pengen lagi. Soalnya ada kamu,” ajak Amelia sedikit melonggarkan pelukannya.

Luna menganggukkan kepalanya, “Mau bunda, kita bikin banyak ya? Luna juga kangen cinnamon rolls nya bunda”

“Iya. Tapi kamu mandi dulu gih, habis itu susul bunda ke dapur”

Luna mengangguk, sebelum melenggang ke dapur, Amelia mencium pelan pucuk kepala putrinya.

Seharian penuh mereka menghabiskan waktu dengan membuat berbagai macam kue. Awalnya mereka hanya ingin membuat cinnamon rolls, tetapi karena tidak ada kegiatan lainnya mereka melanjutkan membuat berbagai macam kue. Di malam harinya, Luna memutuskan tidur bersama bundanya, mereka membicarakan banyak hal yang terlewat selama ini. Tentang kantor Luna yang mengadakan WFH, tentang semua hal yang dilakukan ibunya di rumah akhir-akhir ini, dan masih banyak lagi hingga menjemput alam mimpi mereka masing-masing.

Tak tersa hampir satu bulan mereka menghabiskan waktu bersama dalam satu atap. Mereka tidak pernah bertengkar seperti yang sebelum-sebelumnya. Semua hal berjalan lancar. Tiga hari lagi WFH yang dilakukan kantornya akan selesai. Tapi ada satu keputusan Luna yang mungkin membuat kalian terkejut.

“Seriously?! Lo mau ambil kerjaan di cabang sana?!” teriak orang itu di telepon.

“Jangan teriak ah! Iya, gue ambil cabang di sini,” ucap Luna malam itu.

Keputusan Luna tentang pekerjaannya kali ini tidak main-main. Beberapa bulan lalu ia diberi tawaran untuk menjadi penanggung jawab di cabang baru kantornya. Wanita itu tidak mengira jika cabang yang dimaksud berada di kota kelahirannya. Ia baru mengetahui 5 hari lalu. Tanpa pikir panjang ia menyetujui tawaran tersebut.

Sebenarnya Luna hampir mengambil satu keputusan yang lebih gila dari itu. Ia ingin keluar dari pekerjaannya. Ia ingin hidup di kota ini bersama bundanya. Tapi hal itu di larang keras oleh Amelia. Bundanya berkata bahwa hal tersebut akan sangat merugikan Luna, semua prestasi yang sudah ia raih akan terbuang sia-sia.

Oke, mari kembali kepada dua orang tadi.

“Lo yakin lun?? Inget, ini bukan keputusan yang bisa lo ulang buat kedua kalinya,” tanya Rina meyakinkan.

“Yakin banget gue. Ada satu alasan yang perlu lo tau Rin, gue nggak mau lagi ulangin kesalahan yang sama. Cukup sekali gue egois. Gue disini juga seneng-seneng aja. Malahan gue lebih seneng disini dari pada di sana,” jawab luna dengan senyum merekah.

“Lo tau nggak lun kalo gue ikut seneng sama lo yang sekarang. Lo jadi Luna yang lebih dewasa sih menurut gue. Happy for you bestie!! Lo udah ngelakuin yang terbaik. Lo keren bisa di titik ini” puji rina.

“Thank you ya, gue sayang banget sama lo! Lo harus bahagia terus ya! Kalo saat itu lo nggak yakinin gue buat pulang gue ga tau deh gimana hancurnya hubungan gue sama bunda”

“Itu udah kewajiban gue lun”

Mereka berbicara hingga malam. Membicarakan banyak hal, tentang pekerjaan, tentang novel-novel terbaru dari Tere liye.

“Hah?! Tulus ngeluarin lagu baru woi! Lun sumpah, dengerin sekarang!” Ucap Rina terkejut.

“Sumpah lo?! Bentar-bentar gue buka laptop dulu,” jawab Luna sambil berlari kecil menuju meja kerjanya.

Oke satu hal lagi kesamaan mereka, mereka sama-sama menyukai tulus.

“Judulnya ‘Adaptasi’ Lun! Gue matiin dulu teleponnya. Gue mau dengerin dengan hati dulu. Bye Lun!!” panggilan terputus sepihak.

Luna sudah tak menghiraukannya, yang terpenting sekarang ia harus mendengarkan lagu tersebut. Musik mulai melantun pelan. Ini dia yang Luna suka dari Tulus. Selain suara emasnya, Tulus selalu berhasil menghantarkan ketenangan dalam setiap lagu yang tersaji.

Berdiam di dalam rumah ini denganmu
Dari malam hingga malam lagi
Terkungkung langkah ragu tak ke mana-mana
Dari Rabu hingga Rabu lagi

Luna tersenyum kecil, sepertinya ia paham akan seperti apa isi dari lagu tersebut.

Semakin banyak waktu 'tuk bicara
Semakin kupaham harapmu apa
Semakin banyak waktu 'tuk bersama
Bersyukurku kau utuh jiwa raga

Benar dengan apa yang di ucapkan Tulus, semakin lama ia di rumah ini bersama bundanya, ia semakin paham dengan apa saja keinginan bundanya. Semakin mereka mengabiskan waktu bersama pun membuat Luna lebih bersyukur karena bundanya tetap berada di sisinya. Kebahagiaan bundanya adalah kebahagiaannya.

Hadirmu sangat berharga
Kuingin engkau tahu
Aku sayang kamu

Penutup yang manis untuk lagu tersebut.

Manis, sangat manis seperti biasanya. Tulus selalu berhasil membuat hatinya menghangat. Setelah mendengarkan lagu tersebut, Luna menutup laptopnya. Ia segera merebahkan tubuhnya diatas kasur sambil menatap langit-langit kamarnya.

Senyum kecil terukir di bibir kecilnya. Mungkin menurut banyak orang pandemi hanya memiliki dampak yang buruk. Tapi hei.. pandemi juga memiliki dampak yang baik jika kalian lihat dari sisi yang berbeda.

Pandemi mempererat hubungan banyak orang, mungkin dengan keluarga, atau dengan pasangan mereka.

Contoh kecil seperti Luna, yang tadinya hanya sibuk dengan pekerjaan, sekarang ia tahu jika masih memiliki Amelia sebagai rumahnya untuk pulang. Hubungan Luna dan bundanya yang awalnya renggang sekarang menjadi erat kembali. Karena pandemi mereka menghabiskan banyak waktu bersama, akhirnya Luna paham bahwa ketakutan mereka sebenarnya sama. Sama-sama takut di tinggalkan orang terkasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKS MONOLOG BAHASA JAWA